Tampilkan postingan dengan label Artikel ILmiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Artikel ILmiah. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Maret 2016

MENGENAL GERAKAN TANAH SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA LONGSOR


Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
Email: muhlisinsidik@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Bencana    longsor         merupakan salah satu bencana geologis yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah maupun non alamiah,  merupakan salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban  jiwa     dan menimbulkan  kerusakan  sarana dan prasarana  lainnya   yang bisa berdampak negatif pada kondisi ekonomi dan sosial.      Bencana alam tanah  longsor  dapat  terjadi  karena pola  pemanfaatan  lahan  yang  tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan,  seperti gundulnya hutan akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian  dan pemukiman  di  lahan  berkemiringan leren yang  terjal.
            Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak kebawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor diawali oleh air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai ke tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.  
            Pengetahuan tentang gerakan tanah adalah penting sebagai upaya untuk mengantisipasi bahaya longsor, dan upaya mitigasinya. Sehingga masyarakat d sekitar wilayah longsor dapat terselamatkan dan kerugian harta benda dapat diminimalisir.

B. MEKANISME LONGSOR /GERAKAN TANAH
Gerakan tanah adalah suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada keadaan ketidakseimbangan yang menyebabkan terjadinya suatu proses mekanis, mengakibatkan sebagian dari lereng tersebut bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah terjadi longsor lereng akan seimbang atau stabil kembali. Jadi longsor merupakan pergerakan massa tanah atau batuan menuruni lereng mengikuti gaya gravitasi akibat terganggunya kestabilan lereng. Apabila massa yang bergerak pada lereng ini didominasi oleh tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring maupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai  longsoran tanah. Saripin (2002) mendefinisikan tanah longsor adalah merupakan  suatu bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Ditinjau dari segi gerakannya, maka selain erosi longsor masih ada beberapa erosi yang diakibatkan oleh gerakan massa tanah, yaitu rayapan (creep), runtuhan batuan (rock fall) dan aliran lumpur (mud flow). Karena massa yang bergerak dalam longsor merupakan massa yang besar maka seringkali kejadian tanah longsor akan membawa korban, berupa kerusakan lingkungan, lahan pertanian, permukiman dan infrastruktur serta harta bahkan hilangnya nyawa manusia.

C. JENIS-JENIS TANAH LONGSOR
           Menurut Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yaitu: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan  aliran bahan rombakan. Di indonesia jenis longsor yang paling sering terjadi adalah longsor translasi dan longsor rotasi. Sementara itu, jenis tanah longsor yang paling banyak memakan korban jiwa adalah aliran bahan rombakan.
1. Longsor Translasi; Longsor ini terjadi karena bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2. Longsor Rotasi; Longsoran ini muncul akibat bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok; Pergerakan blok terjadi karena perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsor jenis ini disebut juga longsor translasi blok batu
4. Runtuhan Batu; Runtuhan batu terjadi saat sejumlah besar batuan atau material lain bergerak kebawah dengan cara jatuh bebas. Biasanya, longsor ini terjadi pada lereng yang terjal sampai menggantung, terutama di daerah pantai. Runtuhan batu-batu besar dapat menyebabkan kerusakan parah.
5. Rayapan Tanah; Longsor ini bergerak lambat serta serta jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Longsor ini hampir tidak dapat dikenal. Setelah beberapa lama terjadi longsor jenis rayapan, posisi tiang-tiang telepon, pohon-pohon, dan rumah akan miring kebawah.
6. Aliran Bahan Rombakan; Longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air dan terjadi di sepanjang lembah yang mencapai ratusan meter jauhnya. Kecepatan bergantung pada kemiringan lereng, volume air, tekanan air dan jenis materialnya.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN LONGSOR
            Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan  batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. 
         Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alam dan faktor manusia:
Faktor alam dipengaruhi oleh: a) Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, strukutur sesar dan kekar, gempa bumi, stragrafi dan gunung berapi; b) Iklim : curah hujan yang tinggi; c) Keadaan topografi : lereng yang curam; d) Keadaan air : kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika; e) Tutup lahan yang mengurangi tahan geser, misalnya tanah kritis; dan f) Getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan.
Faktor manusia dipengaruhi oleh: a) Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal; b) Penimbunan tanah urugan di daerah lereng; Kegagalan struktur dinding penahan tanah; c) Penggundulan hutan; d) Budidaya kolam ikan diatas lereng; e) Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman; f) Pengembangan wilayah yang tidak di imbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri; dan f) Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik.
Secara umum Karnawati (2003) mengungkapkan faktor pengontrol  terjadinya longsor pada suatu lereng dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kondisi geologi batuan dan tanah penyusun lereng, kemiringan lereng (geomorfologi lereng), hidrologi dan struktur geologi, sedangkan faktor eksternal yang disebut juga sebagai faktor pemicu yaitu curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng serta getaran gempa.  Zona kerentanan gerakan tanah dapat dianalisis berdasarkan penghitungan variabel lingkungan fisik suatu daerah yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah. Variabel yang dapat digunakan sebagai dasar analisis  dari penentuan zona kerentanan terhadap gerakan tanah adalah variable kemiringan lereng (topografi), tekstur tanah, kondisi fisik batuan, curah hujan (iklim) dan penggunaan lahan.   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa daerah yang memiliki kerawanan terhadap bencana tanah longsor dikategorikan dalam kawasan fungsi lindung. Sedangkan batasan kawasan lindung diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 837/KPTS/UM/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.

E. IDENTIFIKASI  POTENSI LONGSOR
Prosedur yang harus dilakukan untuk identifikasi kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut:
a.  Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000, deliniasi kelas kelerengan lahan dilakukan seperti klasifikasi lereng pada Lampiran 2. Klasifikasi lereng ini sama seperti pada klasifikasi lereng daerah potensi (pasokan) air banjir hanya kelas lereng >45% dibagi lagi menjadi kelas 45-65% dan >65%, sedangkan kelas 0-8% digabung menjadi satu dengan kelas 8-15% . Pembagian kelas lereng dapat digunakan sebagai unit peta.
b. Padukan peta Geologi (contoh Gambar 5), pada peta kelas lereng untuk memperoleh data jenis batuan (geologi) dan keberadaan garis sesar/patahan/ gawir.
c.  Dengan peta jenis tanah dapat diperkirakan kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap air.
d.  Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000 diidentifikasi jenis penutupan lahan dan  keberadaan infrastruktur. Untuk memperoleh data penutupan lahan terkini perlu dikoreksi dengan hasil analisis citra satelit (penginderaan jauh), terutama dengan resolusi yang cukup tinggi seperti SPOT.4 dan atau 5, atau IKONOS atau Quick Bird. 
e.  Dipadukan peta penutupan lahan dengan peta penggunaan lahan (land use) agar diperoleh kejelasan pemangku lahan terkait, dan ancaman tanah longsor terhadap pemukiman.
f.  Apabila data demografi desa tersedia maka kepadatan pemukiman pada unit peta tersebut dapat dihitung yakni nilai nisbah/rasio jumlah penduduk dibagi luas pemukiman pada wilayah desa yang bersangkutan.
g.  Analisis data hujan harian dari catatan data curah hujan harian sepuluh tahun terakhir untuk memperoleh data curah hujan tiga hari berurutan terbesar.

F. TEKNIK PENGENDALIAN TANAH LONGSOR
Berdasarkan pengalaman lapangan, proses tanah longsor bisa dipilah dalam  Tiga tingkatan yakni: (1) massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor); (2)  massa tanah  bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut: 1) Slope reshaping lereng terjal (pembentukan lereng lahan menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor; 2) Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat pada kaki lereng; 3) Penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan rekahan bisa diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga menjenuhi tanah di atas lapisan kedap; 4)  Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi permanen) lebih tahan terhadap retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan batu/bata pada lahan yang masih akan bergerak.
Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif ) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya.
Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 2.
Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion). Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air.
G.  PERINGATAN DINI  TANAH LONGSOR
Teknik peringatan dini dalam memitigasi tanah longsor secara umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor yang ada):
a.    Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual.
b.    Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual.
c.    Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila  curah hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari melebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak telihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada.
d.   Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah (sebelumnya belum pernah terjadi renbesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari sebelumnya.
e.    Adanya pohon yang posisinya condong kearah  bawah bukit.
f.     Adanya perubahan muka air sumur (pada musim kemarau air sumur kering, pada musim penghujan air sumur penuh).
g.    Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang.
h.    Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam.

H. MITIGASI BENCANA LONGSOR LAHAN
Mitigasi bencana longsor lahan adalah suatu usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan jatuhnya korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.   Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatan dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.  Mitigasi bencana meliputi sebelum, saat terjadi dan sesudah terjadi bencana.
1. Sebelum bencana antara lain peringatan dini (early warning system) secara optimal dan terus menerus pada masyarakat. 
a)  Mendatangi daerah rawan longsor lahan berdasarkan peta kerentanannya.
b)  Memberi tanda khusus pada daerah rawan longsor lahan.
c)  Manfaatkan peta-peta kajian tanah longsor secepatnya.
d)  Permukiman sebaiknya menjauhi tebing.
e)  Tidak melakukan pemotongan lereng.
f)  Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam kedaan gundul,  menanam pohon-pohon penyangga,  melakukan panghijauan pada lahan-lahan terbuka.
g)  Membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki kemiringan yang relatif curam.
h)  Membatasi lahan untuk pertanian
i)  Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah
j)  Menggunakan teknik penanaman dengan sistem kontur tanah
k)  Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah) terutama di musim hujan.
2.  Saat bencana antara lain bagaimana menyelamatkan diri dan kearah mana. ini harus diketahui oleh masyarakat.
3. Sesudah bencana antara lain pemulihan  (recovery) dan masyarakat harus dilibatkan.
a)  Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman
b)  Penyelamatan harta benda yang mungkin masih dapat di selamatkan,
c)  Menyiapkan tempat-tempat penampungan  sementara bagian para pengungsi seperti tenda-tenda darurat
d)  Menyediakan dapur-dapur umum
e)  Menyediakan air bersih, sarana kesehatan
f)  Memberikan dorongan semangat bagi para korban bencana agar para korban tersebut tidak frustasi dan Iain-lain.
g)  Koordinasi dengan aparat secepatnya 

Adapun  tahapan mitigasi bencana tanah longsor, yaitu pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, sosialisasi. 
1.    Pemetaan;  Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.
2.    Penyelidikan; Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah.
3.    Pemeriksaan;   Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
4.    Pemantauan; Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
5.    Sosialisasi;  Memberikan  pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau masyarakat  umum, tentang bencana alam tanah longsor.  Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, berita, poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada aparat pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Somantri, L. 2007. Kajian Mitigasi Bencana Longsor Lahan  dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Padang: Sseminar Ikatan Geografi Indonesia.
Paimin, Sukresno dan Pramono, I.B.2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan. Tropenbos International Indonesia Programme.
Nandi. 2007. Longsor. Bandung. Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia.
Nugroho, U.C., Fahrudin dan Suwarsono. 2014. Pemetaan Indeks Resiko Gerakan Tanah Menggunakan Citra DEM SRTM dan Data Geologi Di Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Seminar Nasional Penginderaan Jauh.  

Minggu, 20 Maret 2016

PERANAN TAMAN PINTAR SEBAGAI SUMBER BELAJAR





Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
A.  Pendahuluan
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku menjadi yang lebih baik. Belajar tidak hanya terbatas dengan ruangan yang disebut kelas tetapi lebih luas lagi, belajar dapat dilakukan dimanapun di luar maupun di dalam ruangan.
Belajar di luar ruangan bisa dilakukan di lingkungan sekitar manusia baik ingkungan alami maupun lingkungan buatan.  Taman pintar merupakan lingkungan di luar ruangan yang merupakan lingkungan buatan dan dapat digunakan sebagai sumber belajar.

B.  Hakekat Sumber Belajar
Sumber belajar pada hakekatnya adalah semua sumber yang terdiri dari pesan, manusia, material (media  software), peralatan  (hardware), teknik (metode) dan lingkungan yang digunakan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama (kombinasi) untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (AECT, 1977).
Sumber belajar pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual (Fred Percival & Ellington, 1988). Menurutnya agar sesuatu dapat berfungsi sebagai sumber belajar syaratnya adalah: (1) Dapat tersedia secara cepat; (2) Memungkinkan siswa untuk memacu dm; (3) Bersifat individual, dapat memenuhi berbagai kebutuhan para siswa dalam belajar mandiri.
Menurut Cony Semiawan (1986:24) ada empat jenis sumber belajar yang sangat bermanfaat, antara lain : 1) Masyarakat desa atau kota di sekeliling sekolah; 2) Lingkungan fisik di sekitar sekolah; 3) Bahan sisa dan barang bekas yang tidak dapat dipakai yang terbuang, mungkin dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, namun bila kita dapat memanfaatkannya dengan cara mendaur ulang dapat menjadi sumber belajar dan alat bantu belajar mengajar; 4) Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi di masyarakat, yang menarik perhatian siswa karena peristiwa itu tidak akan terulang lagi, dan peristiwa tersebut tidak akan ada pada catatan dalam buku atau alam pikir siswa. Jadi, dengan demikian taman pintar juga merupakan sumber belajar yang berupa lingkungan di sekitar sekolah.
  Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara seksama dalam merencanakan sumber belajar yaitu: maksud dan tujuan pengadaan sumber belajar, tingkat perkembangan siswa, konsep dan keterampilan yang akan dikembangkan serta kegiatan dan metode belajar yang akaan diterapkan. Dengan memperhatikan beberapa aspek tersebut maka pemanfaatan sumber belajar akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari kegiatan instruksional.
Agar diperoleh manfaat yang maksimal dari sumber belajar perlu memperhatikan ciri-ciri pokok dari sumber belajar, yaitu: (1) Sumber belajar mempunyai daya atau kekuatan yang dapat memberikan sesuatu yang diperlukan dalam mencapai tujuan pembelajaran; (2) Sumber belajar dapat merubah tingkah laku yang lebih sempuma, sesuai dengan tujuan; (3) Sumber belajar dapat digunakan secara sendiri-sendiri (terpisah) mapun secara kombinasi (gabungan); (4) Sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang dirancang  {by design} untuk keperluan belajar dan sumber belajar yang tinggal memakai  (by utilization) awalnya tidak dimaksudkan untuk kepentingan belajar, kemudian dimanfaatkan bagi kegiatan belajar. Karti Soeharto dkk

C.  Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Taman pintar merupakan lingkungan yang dibuat sebagai sumber dan  sarana belajar. Jadi, menggunakan taman pintar sebagai sumber belajar berarti memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Kelebihan dalam pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar yaitu: 1) Membuat siswa mendapatkan informasi berdasarkan pengalaman langsung; 2) Lebih komunikatif; 3) Membuat pelajaran lebih konkrit; 4)  Membuat siswa mengenal dan mencintai lingkungan; 5) Penerapan ilmu menjadi lebih mudah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya (Sardiman, 2005).
Lingkungan dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang ada di sekolah atau tempat tinggal siswa yang temasuk di dalamnya mahluk hidup maupun benda mati yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar”.
Ada empat sumber belajar yang berkenaan langsung dengan lingkungan sebagai berikut:
1.     Masyarakat kota atau desa sekeliling sekolah;
2.     Lingkungan fisik di sekitar sekolah;
3.     Bahan sisa yang tidak terpakai dan barang bekas yang terbuang yang dapat menimbulkan pemahaman lingkungan;
4.     Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi dimanfaatkan cukup menarik perhatian siswa.13
Dalam proses pembelajaran, lingkungan sebagai dasar pengajaran adalah faktor tradisonal yang memengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang penting. Lingkungan belajar/pembelajaran atau pendidikan terdiri atas:
1. Lingkungan sosial yaitu lingkungan masyarakat baik kelompok besar maupun kelompok kecil;
2. Lingkungan personal meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi berpengaruh terhadap individu pribadi lainnya;
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi sumber daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar;
4. Lingkungan kultural mencakup hasil budaya dan teknologi yang dijadikan sumber belajar dan dapat menjadi faktor pendukung pengajaran. Dalam konteks ini termasuk sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan (Sandhi, 2011)
Memanfaatkan lingkungan sebagai media pembelajaran memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan tersebut yaitu:
1. Menghemat biaya, karena memanfaatkan benda-benda yang telah ada di lingkungan.
2. Praktis dan mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus seperti listrik.
3. Memberikan pengalaman yang riil kepada siswa, pelajaran menjadi lebih konkrit, tidak verbalistik.
4. Karena benda-benda tersebut berasal dari lingkungan siswa, maka benda-benda tersebut akan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa. Hal ini juga sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning).
5. Pelajaran lebih aplikatif, maksudnya materi pelajaran yang diperoleh siswa melalui media lingkungan kemungkinan besar akan dapat diaplikasikan langsung, karena siswa akan sering menemui benda-benda atau peristiwa serupa dalam kehidupannya sehari-hari.
6. Media lingkungan memberikan pengalaman langsung kepada siswa. Dengan penggunaan lingkungan, siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan benda, lokasi atau peristiwa sesungguhnya secara alamiah.
7. Lebih komunikatif, sebab benda dan peristiwa yang ada di lingkungan siswa biasanya mudah dicerna oleh siswa, dibandingkan dengan media yang dikemas.
            Menurut Nana Sudjana (2001) ada tiga macam lingkungan yang
dapat digunakan dalam proses pendidikan dan pengajaran yaitu lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan sosial sebagai sumber belajar berkaitan dengan interaksi manusia dengan kehidupan bersayrakat.  Lingkungan alam berkenaan dengan segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan geografi, iklim maupun sumber daya alam. Lingkungan buatan  yaitu lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
Sehubungan dengan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar ini, Nasution (1985) menyatakan bahwa pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : dengan cara membawa sumber-sumber dari masyarakat ke atau lingkungan ke dalam kelas dan dengan cara membawa siswa ke lingkungan. Tentunya masing-masing cara tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan, metoda, teknik dan bahan tertentu yang sesuai dengan tujuan pengajaran.
            Lingkungan yang ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas, antara lain :
1.    Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari siswa Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan siswa karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab siswa dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.
2.    Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab siswa dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan siswa.
3.      Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada siswa, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
4.      Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi siswa  Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi siswa sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
5.      Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar siswa (learning activities) yang lebih meningkat.  Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan.

Memanfaatkan lingkungan sekitar dengan membawa siswa-siswa untuk mengamati lingkungan akan menambah keseimbangan dalam kegiatan belajar. Artinya belajr tidak hanya  terjadi di ruangan kelas namun juga di luar ruangan kelas dalam hal ini lingkungan sebagai sumber belajar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial, dan budaya, perkembangan emosional serta intelektual.
1. Perkembangan aspek keterampilan sosial; Lingkungan secara alami mendorong siswa untuk berinteraksi dengan siswa-siswa yang lain bahkan dengan orang-orang dewasa. Pada saat siswa mengamati objek-objek tertentu yang ada di lingkungan pasti dia ingin mencritakan hasil penemuannya dengan yang lain. Supaya penemuannya diketahui oleh teman-temnannya siswa tersebut mencoba mendekati siswa yang lain sehinga terjadilah proses interaksi/hubungan yang harmonis. Siswa-siswa dapat membangun kterampilan sosialnya ketika mereka membuat perjanjian dengan teman-temannya untuk bergantian dalam menggunakan alat-alat tertentu pada saat mereka memainkan objek-objek yang ada di lingkungan tertentu. Melalui kegiatan sepeti ini siswa berteman dan saling menikmati suasana yang santai dan menyenangkan.
2. Perkembangan aspek emosi; Lingkungan pada umumnya memberikan tantangan untuk dilalui oleh siswa-siswa. Pemanfaatannya akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan rasa percaya diri yang positif. Misalnya bila siswa diajak ke sebuah taman yang terdapat beberapa pohon yang memungkinkan untuk mereka panjat. Dengan memanjat pohon tersebut siswa mengembangkan aspek keberaniannya sebagai bagian dari pengembangan aspek emosinya. Rasa percaya diri yang dimiliki oleh siswa terhadap dirinya sendiri dan orang lain dikembangkan melalui pengalaman hidup yang nyata. Lingkungan sendiri menyediakan fasilitas bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman hidup yang nyata.
3. Perkembangan intelektual; Siswa-siswa belajar melalui interaksi langsung dengan benda-benda atau ide-ide. Lingkungan menawarkan kepada guru kesempatan untuk menguatkan kembali konsep-konsep seperti warna, angka, bentuk dan ukuran.  Memanfaatkan lingkungan pada dasarnya adalah menjelaskan konsep-konsep tertentu secara alami.



DAFTAR PUSTAKA

Sardiman, 2005. Media Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sandhi S A., 2011. Pemanfaatan Laboratorium Lingkungan sebagai Media Pembelajaran IPAyang Bernilai Edukatif dan Ekonomis. http://iyoyee.wordpress.com/2007/11/08/artikel-non-penelitian-1.
Sudjana, N. A. Rivai.1991.Media Pengajaran (Penggunaan dan Pembuatannya).Bandung:Sinar Baru Bandung
Triadinda, O. A. 2013. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Taman Pintar di Kota Solo Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Metafora. Disertasi UAJY, tidak diterbitkan