Senin, 21 Maret 2016

PERILAKU MASYARAKAT KOTA CILEGON DALAM PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN SAMPAH RUMAH TANGGA

Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
KP3B Jl. Syeh Nawawi Al-Bantani, Palima Serang-Banten 42171

ABSTRAK

Penanganan sampah yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Cilegon dewasa ini, belum dapat menyelesaikan permasalahan sampah secara signifikan. Oleh karena itu salah satu upaya strategis yang dilakukan dalam mengatasi persoalan sampah adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan melakukan reduksi sampah di sumbernya. Penelitian tentang perilaku masyarakat dalan pengelolaan dan pemanfaatan sampah rumah tangga belum banyak dilakukan padahal data tersebut sangat dibutuhkan dalam  menyusun strategi dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sampah rumah tangga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku masyarakat Kota  Cilegon dalam pengelolaan dan  pemanfaatan sampah rumah tangga. Penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan mengambil sebanyak 128 sampel yang dilakukan secara purposif terhadap responden yang dianggap mewakili masyarakat Kota Cilegon di wilayah perkampungan dan perumahan, dengan anggota sampel: ketua RW, warga, dan pengelola kebersihan atau Bank Sampah. Instrumen yang digunakan adalah angket tertutup dan skala Likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku masyarakat dan pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga termasuk dalam katagori kurang, dan tidak berbeda signifikan baik di perkampungan maupun di perumahan

Kata kunci: Cilegon, sampah rumah tangga, perilaku masyarakat

ABSTRACT

Waste management that has been done by the Government of Cilegon today, have not been able to resolve the waste problem significantly. Therefore, one of the strategic efforts implementation in addressing the waste problem is to encourage community participation in waste management by making waste reduction at the source. Research on the poeple’s behavior in the management and utilization of household waste has not been done when the data is needed to develop strategies to encourage community participation in the management and utilization of household waste. The purpose of this study was to determine the poeple’s behavior of  Cilegon city in the management and utilization of household waste. Research using quantitative descriptive method, by taking as many as 128 samples were conducted purposively against the respondents considered to represent the Cilegon’s poeples  in village and residential area, with members of the sample were head of RW, village and residential poeples, and waste manager or Waste Bank. The instrument used is a closed questionnaire and Likert scale. The results showed that the poeple’s behavior in the management and utilization of household waste was included in less category, and not different significantly both in villages and residential

Keywords: Cilegon, household waste, people's


behavior

MENGENAL GERAKAN TANAH SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA LONGSOR


Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
Email: muhlisinsidik@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Bencana    longsor         merupakan salah satu bencana geologis yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah maupun non alamiah,  merupakan salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban  jiwa     dan menimbulkan  kerusakan  sarana dan prasarana  lainnya   yang bisa berdampak negatif pada kondisi ekonomi dan sosial.      Bencana alam tanah  longsor  dapat  terjadi  karena pola  pemanfaatan  lahan  yang  tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan,  seperti gundulnya hutan akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian  dan pemukiman  di  lahan  berkemiringan leren yang  terjal.
            Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak kebawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor diawali oleh air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai ke tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.  
            Pengetahuan tentang gerakan tanah adalah penting sebagai upaya untuk mengantisipasi bahaya longsor, dan upaya mitigasinya. Sehingga masyarakat d sekitar wilayah longsor dapat terselamatkan dan kerugian harta benda dapat diminimalisir.

B. MEKANISME LONGSOR /GERAKAN TANAH
Gerakan tanah adalah suatu konsekuensi fenomena dinamis alam untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat ulah manusia. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada keadaan ketidakseimbangan yang menyebabkan terjadinya suatu proses mekanis, mengakibatkan sebagian dari lereng tersebut bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah terjadi longsor lereng akan seimbang atau stabil kembali. Jadi longsor merupakan pergerakan massa tanah atau batuan menuruni lereng mengikuti gaya gravitasi akibat terganggunya kestabilan lereng. Apabila massa yang bergerak pada lereng ini didominasi oleh tanah dan gerakannya melalui suatu bidang pada lereng, baik berupa bidang miring maupun lengkung, maka proses pergerakan tersebut disebut sebagai  longsoran tanah. Saripin (2002) mendefinisikan tanah longsor adalah merupakan  suatu bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Ditinjau dari segi gerakannya, maka selain erosi longsor masih ada beberapa erosi yang diakibatkan oleh gerakan massa tanah, yaitu rayapan (creep), runtuhan batuan (rock fall) dan aliran lumpur (mud flow). Karena massa yang bergerak dalam longsor merupakan massa yang besar maka seringkali kejadian tanah longsor akan membawa korban, berupa kerusakan lingkungan, lahan pertanian, permukiman dan infrastruktur serta harta bahkan hilangnya nyawa manusia.

C. JENIS-JENIS TANAH LONGSOR
           Menurut Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yaitu: longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan  aliran bahan rombakan. Di indonesia jenis longsor yang paling sering terjadi adalah longsor translasi dan longsor rotasi. Sementara itu, jenis tanah longsor yang paling banyak memakan korban jiwa adalah aliran bahan rombakan.
1. Longsor Translasi; Longsor ini terjadi karena bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.
2. Longsor Rotasi; Longsoran ini muncul akibat bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok; Pergerakan blok terjadi karena perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsor jenis ini disebut juga longsor translasi blok batu
4. Runtuhan Batu; Runtuhan batu terjadi saat sejumlah besar batuan atau material lain bergerak kebawah dengan cara jatuh bebas. Biasanya, longsor ini terjadi pada lereng yang terjal sampai menggantung, terutama di daerah pantai. Runtuhan batu-batu besar dapat menyebabkan kerusakan parah.
5. Rayapan Tanah; Longsor ini bergerak lambat serta serta jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Longsor ini hampir tidak dapat dikenal. Setelah beberapa lama terjadi longsor jenis rayapan, posisi tiang-tiang telepon, pohon-pohon, dan rumah akan miring kebawah.
6. Aliran Bahan Rombakan; Longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air dan terjadi di sepanjang lembah yang mencapai ratusan meter jauhnya. Kecepatan bergantung pada kemiringan lereng, volume air, tekanan air dan jenis materialnya.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN LONGSOR
            Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan  batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta berat jenis tanah batuan. 
         Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alam dan faktor manusia:
Faktor alam dipengaruhi oleh: a) Kondisi geologi : batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, strukutur sesar dan kekar, gempa bumi, stragrafi dan gunung berapi; b) Iklim : curah hujan yang tinggi; c) Keadaan topografi : lereng yang curam; d) Keadaan air : kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika; e) Tutup lahan yang mengurangi tahan geser, misalnya tanah kritis; dan f) Getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan.
Faktor manusia dipengaruhi oleh: a) Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal; b) Penimbunan tanah urugan di daerah lereng; Kegagalan struktur dinding penahan tanah; c) Penggundulan hutan; d) Budidaya kolam ikan diatas lereng; e) Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman; f) Pengembangan wilayah yang tidak di imbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri; dan f) Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik.
Secara umum Karnawati (2003) mengungkapkan faktor pengontrol  terjadinya longsor pada suatu lereng dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari kondisi geologi batuan dan tanah penyusun lereng, kemiringan lereng (geomorfologi lereng), hidrologi dan struktur geologi, sedangkan faktor eksternal yang disebut juga sebagai faktor pemicu yaitu curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng serta getaran gempa.  Zona kerentanan gerakan tanah dapat dianalisis berdasarkan penghitungan variabel lingkungan fisik suatu daerah yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah. Variabel yang dapat digunakan sebagai dasar analisis  dari penentuan zona kerentanan terhadap gerakan tanah adalah variable kemiringan lereng (topografi), tekstur tanah, kondisi fisik batuan, curah hujan (iklim) dan penggunaan lahan.   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa daerah yang memiliki kerawanan terhadap bencana tanah longsor dikategorikan dalam kawasan fungsi lindung. Sedangkan batasan kawasan lindung diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 837/KPTS/UM/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya.

E. IDENTIFIKASI  POTENSI LONGSOR
Prosedur yang harus dilakukan untuk identifikasi kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut:
a.  Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000, deliniasi kelas kelerengan lahan dilakukan seperti klasifikasi lereng pada Lampiran 2. Klasifikasi lereng ini sama seperti pada klasifikasi lereng daerah potensi (pasokan) air banjir hanya kelas lereng >45% dibagi lagi menjadi kelas 45-65% dan >65%, sedangkan kelas 0-8% digabung menjadi satu dengan kelas 8-15% . Pembagian kelas lereng dapat digunakan sebagai unit peta.
b. Padukan peta Geologi (contoh Gambar 5), pada peta kelas lereng untuk memperoleh data jenis batuan (geologi) dan keberadaan garis sesar/patahan/ gawir.
c.  Dengan peta jenis tanah dapat diperkirakan kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap air.
d.  Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000 diidentifikasi jenis penutupan lahan dan  keberadaan infrastruktur. Untuk memperoleh data penutupan lahan terkini perlu dikoreksi dengan hasil analisis citra satelit (penginderaan jauh), terutama dengan resolusi yang cukup tinggi seperti SPOT.4 dan atau 5, atau IKONOS atau Quick Bird. 
e.  Dipadukan peta penutupan lahan dengan peta penggunaan lahan (land use) agar diperoleh kejelasan pemangku lahan terkait, dan ancaman tanah longsor terhadap pemukiman.
f.  Apabila data demografi desa tersedia maka kepadatan pemukiman pada unit peta tersebut dapat dihitung yakni nilai nisbah/rasio jumlah penduduk dibagi luas pemukiman pada wilayah desa yang bersangkutan.
g.  Analisis data hujan harian dari catatan data curah hujan harian sepuluh tahun terakhir untuk memperoleh data curah hujan tiga hari berurutan terbesar.

F. TEKNIK PENGENDALIAN TANAH LONGSOR
Berdasarkan pengalaman lapangan, proses tanah longsor bisa dipilah dalam  Tiga tingkatan yakni: (1) massa tanah sebagian terbesar telah meluncur ke bawah (longsor); (2)  massa tanah  bergeser sehingga menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum bergerak tetapi memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut: 1) Slope reshaping lereng terjal (pembentukan lereng lahan menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor; 2) Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat pada kaki lereng; 3) Penutupan rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan rekahan bisa diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga menjenuhi tanah di atas lapisan kedap; 4)  Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi permanen) lebih tahan terhadap retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan batu/bata pada lahan yang masih akan bergerak.
Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif ) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya.
Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 2.
Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion). Pengendalian erosi permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang berada di atas batuan kedap air.
G.  PERINGATAN DINI  TANAH LONGSOR
Teknik peringatan dini dalam memitigasi tanah longsor secara umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis potensi tanah longsor yang ada):
a.    Adanya retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual.
b.    Adanya penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual.
c.    Pemasangan penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila  curah hujan kumulatif secara berurutan selama 2 hari melebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak telihat akan terjadi hujan maka masyarakat harus waspada.
d.   Adanya rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah (sebelumnya belum pernah terjadi renbesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari sebelumnya.
e.    Adanya pohon yang posisinya condong kearah  bawah bukit.
f.     Adanya perubahan muka air sumur (pada musim kemarau air sumur kering, pada musim penghujan air sumur penuh).
g.    Adanya perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam dan kedalaman lapisan tanah sedang.
h.    Adanya pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan lapisan tanah dalam.

H. MITIGASI BENCANA LONGSOR LAHAN
Mitigasi bencana longsor lahan adalah suatu usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan jatuhnya korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat.   Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning (peringatan dini) bencana menjadi sangat penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor.  Mitigasi bencana meliputi sebelum, saat terjadi dan sesudah terjadi bencana.
1. Sebelum bencana antara lain peringatan dini (early warning system) secara optimal dan terus menerus pada masyarakat. 
a)  Mendatangi daerah rawan longsor lahan berdasarkan peta kerentanannya.
b)  Memberi tanda khusus pada daerah rawan longsor lahan.
c)  Manfaatkan peta-peta kajian tanah longsor secepatnya.
d)  Permukiman sebaiknya menjauhi tebing.
e)  Tidak melakukan pemotongan lereng.
f)  Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam kedaan gundul,  menanam pohon-pohon penyangga,  melakukan panghijauan pada lahan-lahan terbuka.
g)  Membuat terasering atau sengkedan pada lahan yang memiliki kemiringan yang relatif curam.
h)  Membatasi lahan untuk pertanian
i)  Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah
j)  Menggunakan teknik penanaman dengan sistem kontur tanah
k)  Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah) terutama di musim hujan.
2.  Saat bencana antara lain bagaimana menyelamatkan diri dan kearah mana. ini harus diketahui oleh masyarakat.
3. Sesudah bencana antara lain pemulihan  (recovery) dan masyarakat harus dilibatkan.
a)  Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman
b)  Penyelamatan harta benda yang mungkin masih dapat di selamatkan,
c)  Menyiapkan tempat-tempat penampungan  sementara bagian para pengungsi seperti tenda-tenda darurat
d)  Menyediakan dapur-dapur umum
e)  Menyediakan air bersih, sarana kesehatan
f)  Memberikan dorongan semangat bagi para korban bencana agar para korban tersebut tidak frustasi dan Iain-lain.
g)  Koordinasi dengan aparat secepatnya 

Adapun  tahapan mitigasi bencana tanah longsor, yaitu pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, sosialisasi. 
1.    Pemetaan;  Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.
2.    Penyelidikan; Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan wilayah.
3.    Pemeriksaan;   Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
4.    Pemantauan; Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
5.    Sosialisasi;  Memberikan  pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau masyarakat  umum, tentang bencana alam tanah longsor.  Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, berita, poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada aparat pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Somantri, L. 2007. Kajian Mitigasi Bencana Longsor Lahan  dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Padang: Sseminar Ikatan Geografi Indonesia.
Paimin, Sukresno dan Pramono, I.B.2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan. Tropenbos International Indonesia Programme.
Nandi. 2007. Longsor. Bandung. Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia.
Nugroho, U.C., Fahrudin dan Suwarsono. 2014. Pemetaan Indeks Resiko Gerakan Tanah Menggunakan Citra DEM SRTM dan Data Geologi Di Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Seminar Nasional Penginderaan Jauh.  

Permasalahan Pengangguran dan Pendidikan Berbasis Enterpreunership

Oleh: Muhlisin Sidik
Pada saat memberikan sambutan di acara peresmian pabrik baja terpadu PT Krakatau Posco Cilegon, Wakil Gubernur (Wagub) Banten Rano Karno menyatakan bahwa angka pengangguran di Provinsi Banten masih cukup tinggi (Sindonews.com, 23/12/2013). Menurut data BPS Provinsi Banten, pada tahun 2013 pengangguran terbuka di Provinsi Banten mencapai 9,90%. Lebih tinggi dari jumlah pengangguran di tingkat Nasional yang hanya mencapai 6,25% pada bulan Agustus 2013 (www.bps.go.id, 06/11/2013). Sehingga pada kesempatan itu juga Wagub meminta agar PT. Krakatau Posco memberikan kesempatan kerja yang cukup luas untuk warga Banten. Lantas, apakah dengan kesempatan bekerja itu akan menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan?
Penangguran adalah masalah yang tidak hanya dialami oleh Negara kita, tetapi juga oleh negara-negara berkembang lainnya.  Permaslahan ini bila tidak diselesaikan akan menimbulkan berbagai penyakit dan kerawanan social dan penurunan kualitas bangsa. Walaupun pendidikan kian berkembang pesat, namun kenaikan jumlah penduduk yang terdidik tidak menurunkan tingkat pengangguran secara signifikan. Bahkan menciptakan kelompok pengangguran terselubung.
Mengapa pendidikan tidak dapat memecahkan pengangguran secara signifikan? Apakah kurikulum yang tidak sesuai dengan kebutuhan di masyarakat? Baiklah kita analisis dari sisi yang paling dekat dengan kita yaitu pendidikan di sekolah menengah.
Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Tujuan pendidikan menengah tersebut hampir sama baik pendidikan dasar maupun kejuruan. Berdasarkan tujuan tersebut kemampuan yang diharapkan meliputi kognisi, afeksi dan psikomotorik. Bahkan di Kurikulum 2013 lebih menegaskan lagi dalam pencapaian ketiga aspek tersebut. Namun pada pelaksanannya, aspek kognisi masih saja lebih dominan dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya. Hal ini ditegaskan dengan pelaksanaan Ujian Nasioanl yang lebih menekankan aspek kognitif.
Bagaimana menyiasati kondisi pendidkan agar dapat menyiapkan tenaga yang terampil? Salah satunya adalah mendidik sikap kewirausahaan (entrepreneurship). Kewirausahaan menurut Suryana (2003) didefinisikan sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berfikir kreatif dan inovatif. Sementara itu Hisrich et al (2008) memberikan definisi yang telah mengakomodir semua tipe perilaku kewirausahaan (entrepreneurship) sebagai “proses menciptakan sesuatu yang baru, yang bernilai, dengan memanfaatkan usaha dan waktu yang diperlukan, dengan memperhatikan risiko sosial, fisik, dan keuangan, dan menerima imbalan dalam bentuk uang dan kepuasan personal serta independensi”. Jadi secara singkat pada dasarnya kewirausahaan (entrepreneurship) adalah suatu proses yang inovatif yang menghasilkan sesuatu yang baru.
Meredith et al.. (2002), mengemukakan nilai hakiki penting dari wirausaha adalah: 1). Percaya diri (self confidence); 2) Berorientasi tugas dan hasil; 3) Keberanian mengambil risiko; 4) Kempemimpinan; 5) Berorientasi ke masa depan; dan 6) Keorisinilan. Dalam mencapai keberhasilannya, seorang wirausaha memiliki ciri-ciri:  Proaktif, yaitu berinisiatif dan tegas; berorientasi pada prestasi,  yang tercermin dalam padangan dan bertindakterhadap peluang, orientasi efisiensi, mengutamakan kualitas pekerjaan, berencana, dan mengutamakan monitoring; dan komitmen kepada orang lain, misalnya dalam mengadakan kontrak dan hubungan bisnis.
Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengembangkan sikap siswa agar menjadi seorang entrepreneur yang diharapkan, sementara muatan kurikulum yang harus dpelajari juga begitu padat? Salah satu alternatif pmecahannya adalah dengan mengembangkan pembelajaran yang berbasis kecakapan hidup (life skill).
Kecakapan hidup adalah kesangguapan, kemampuan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupannya dengan nikmat dan bahagia. Pengembangan pendidikan kecakapan hidup itu berupa pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang kehidupan sehari-hari agar mampu, sanggup, dan terampil menjalani kehidupannya agar dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.
Terdapat beberapa jenis kecakapan hidup yaitu: kecakapan mengenal diri, berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Dari keenam kecakapan hidup tersebut yang berkaitan langsung dengan jenis pekerjaan adalah kecakapan vokasional.
Pengembangan kecakapan vokasioanl ini pada mata pelajaran kelompok IPA seperti fisika, kimia, biologi sangat mungkin dilakukan. Kalau kita fokuskan pada bidang biologi misalnya banyak sekali keterampilan-keterampilan yang dikembangkan untuk menjadi bekal wirausaha.
Pada materi tumbuhan misalnya, bisa dikembangkan tentang keterampilan perbanyakan tanaman, pertumbuhan tanaman yang dapat menjadi bekal wirausaha tanaman hias atau pertanian. Pada materi hewan juga dapat dibekali keterampilan budidaya hewan ternak, maupun hewan-hewan kecil yang menjadi makanan hewan piaraan seperti cacing rambut, jangkrik, dan masih banyak lagi. Di bidang mikrobiologi siswa dapat diberi bekal keterampilan di bidang mikrobiologi pangan seperti pembuatan tempe, oncom, yoghurt, nata de coco, tape, kecap, dan lain-lain. Serta masih banyak keterampilan-keterampilan lainnya yang dapat menginspirasi siswa dalam berwirausaha.
Namun demikian, banyak kendala untuk menerapkan kecakapan hidup tersebut diantaranya adalah, waktu pelajaran yang tersedia, kemampuan guru, serta sarana prasaran yang mendukung. Untuk menanggulangi masalah tersebut harus ada komitmen dari sekolah untuk mewujudkan sekolah yang berbasis kecakapan hidup. Setidaknya mulai dari diri sendiri, sebagai seorang guru untuk mengimplementasikan kecakapan hidup pada mata pelajaran yang diampu.
Kalau dari setiap diri guru mampu menerapakan hal tersebut, akan banyak memberikan inspirasi bagi siswa untuk menjadi enterpereneur, sehingga bila lulus nanti bisa menciptakan lapangan kerja bukan mencari pekerjaan, baik mereka melanjutkan kuliah atau tidak. Bahkan akan menjadi contoh yang baik bila gurunya pun sudah sukses berwirausaha sebagai bukti bahwa ia bersungguh-sungguh dalam mengembangkan sikap kewirausahaan kepada siswa.


Hubungan antara Partisipasi dan Gaya Hidup Bebas Sampah (Zero Waste Lifestyle) pada Nasabah Bank Sampah Warnasari-36, Cilegon-Banten



Correlation between the Participation and Zero Waste Lifestyle
of Waste Bank’s Costumers of Warnasari-36, Cilegon-Banten

Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
Pos-el: muhlisinsidik@gmail.com

ABSTRACT

Nowadays,  waste banks  have been established everywhere. The existences is one of effort to solve a waste problem based on public awareness. The growth of waste bank related to the increase of public attention to the program. The study on the development of waste bank and public participation have been done. However, those studies have given little attention to zero waste lifestyle. For that reason this study aim to examine the correlation of participation and zero waste lifestyle of waste bank’s costumers. The method used in this study is based on quantitative data. Seventy-six sample obtained through purposive sampling technique. Data collection was conducted in May 2014 at the Waste bank of Warnasari-36, Cilegon-Banten. Likert scale questionnaire used to measure the level of participation and zero waste lifestyle. The results showed that the level of participation and Zero Waste Lifestyel were fairly to very high  category, respectively 75% and 76%. From the results of the Spearman correlation test is known that there was a significant correlation between participation and zero waste lifestyle on customer of Waste Bank of Warnasari-36 in low category (r = 0.281).

Keywords: community participation, waste, waste bank,  zero waste lifestyle.

ABSTRAK

Dewasa ini, bank sampah sudah banyak bermunculan di mana-mana. Kemunculan bank sampah itu adalah sebagai upaya mengatasi permasalahan sampah berdasarkan kesadaran masyarakat. Perkembangan bank sampah itu tidak terlepas dari besarnya partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Penelitian tentang bank sampah dan partisipasi masyarakat terhadap bank sampah sudah pernah dilakukan. Namun, penelitian tentang hubungan partisipasi masyarakat terhadap bank sampah dengan gaya hidup bebas sampah belum banyak dilakukan. Padahal, gaya hidup bebas sampah berperan penting dalam membentuk pola perilaku manusia dalam mengatasi permasalahan sampah. Penelitian ini bertujuan untuk  mengetahui partisipasi, gaya hidup bebas sampah, dan hubungan partisipasi nasabah bank sampah dengan gaya hidup bebas sampah. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalah ini adalah deskriptif kuantitatif. Sampel sebanyak tujuh puluh enam nasabah diperoleh melalui teknik  purposive sampling. Pengambilan data  dilaksanakan pada bulan Mei 2014 di Bank Sampah Warnasari-36 di Perumahan Taman Warnasari Indah, Kota Cilegon, Banten. Instrumen yang berupa skala Likert, digunakan untuk mengukur  tingkat partisipasi dan gaya hidup  bebas sampah.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi nasabah Bank Sampah dan  gaya hidup bebas sampah nasabah Warnasari-36  sebagian besar memiliki katagori sedang sampai sangat tinggi, dengan persentase berturut-turut 75% dan  76%. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara partisipasi nasabah bank sampah dan gaya hidup bebas sampah pada nasabah Bank Sampah  Warnasari-36, dengan koefisien korelasi r = 0,281 yang berkatagori rendah.


Kata Kunci: Gaya hidup bebas sampah, bank sampah, partisipasi masyarakat, sampah.

Minggu, 20 Maret 2016

KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI DAN KOMPETENSI BELAJAR SISWA PADA KONSEP VIRUS MENGGUNAKAN STRATEGI PEMBELAJARAN “SICOMO” DI SMA NEGERI CAHAYA MADANI BANTEN BOARDING SCHOOL


Muhlisin, S.Pd., M.Si.
SMA Negeri Cahaya Madani Banten Boarding School
Jl. Raya Pandeglang-Labuan Km. 03 Kuranten, PO.Box 61 Pandeglang 42201
http://www.smancmbbs.com; e-mail: muhlisinsidik@gmail.com

ABSTRAK
Dalam proses belajar mengajar, siswa tidak hanya membutuhkan informasi konsep biologi saja, tetapi juga membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang penting dalam menginformasikan  pengetahuannya kepada orang lain. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi juga penting dimiliki oleh mereka. Salah satu strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan kedua kemampuan tersebut adalah “Sicomo” (=Searching of Information, Communicating, and Modelling). Pada fase Searching of Information:  siswa mencari informasi tentang materi virus melalui penugasan melakukan wawancara kepada dokter di Klinik atau lembaga kesehatan di sekitar sekolah, mencari sumber dari internet maupun buku yang relevan; Communicating: siswa melakukan presentasi di depan kelas dengan format presentasi Microsfot Power Point dan membuat poster yang dipamerkan di majalah dinding; dan Modelling: pembuatan model bentuk-bentuk virus menggunakan plastisin. Metode penelitian yang digunakan adalah Deskriptif, untuk mengetahui gambaran kemampuan berkomunikasi siswa kelas X sebagai populasi penelitian baik secara lisan maupun tertulis, yang meliputi presentasi dan poster yang dinilai dengan menggunakan lembar penilaian. Kompetensi belajar siswa diperoleh dari tes akhir yang menggunakan soal pilihan ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam berkomunikasi lisan  dan tulisan  pada pembelajaran yang menggunakan strategi pembelajaran SICOMO seluruhnya berkatagori baik. Sedangkan kompetensi belajarnya mencapai ketuntasan lebih dari 70%.


Kata Kunci: kemampuan  berkomunikasi, kompetensi belajar, strategi pembelajaran, konstruktivisme


ABSTRACT

Students must have communication skill, because they need not only biology concept in teaching learning but also communicating competence which is important to transfer their knowledge to the others. One of learning strategies that can develop both of the competences is “Sicomo” Strategy (Sicomo=Searching of Information, Communicating, and Modeling). In Searching Information session, students get a task to interview the doctor at hospital or healthy institution around the school, or they browse learning sources using internet or books; In communicating session, students present their paper on Microsoft Power Point format and make a poster to be displayed on wall magazine; and in Modeling session, students make kind of three dimension virus models using plasticine media. The objective of descriptive research is to illustrate how students of 10th class as population can communicate in oral and writing communication through presentation skill and poster which measured by observation format. Post test in multiple choices is done to get learning competence data. Based on the research, all of students’ communication competence, both oral and writing communicating acquire good category and their mastery learning reaches over 70%.


Keywords: communicating competence, Constructivism, learning competence, learning strategy, 

PERANAN TAMAN PINTAR SEBAGAI SUMBER BELAJAR





Muhlisin
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug Serang-Banten
A.  Pendahuluan
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku menjadi yang lebih baik. Belajar tidak hanya terbatas dengan ruangan yang disebut kelas tetapi lebih luas lagi, belajar dapat dilakukan dimanapun di luar maupun di dalam ruangan.
Belajar di luar ruangan bisa dilakukan di lingkungan sekitar manusia baik ingkungan alami maupun lingkungan buatan.  Taman pintar merupakan lingkungan di luar ruangan yang merupakan lingkungan buatan dan dapat digunakan sebagai sumber belajar.

B.  Hakekat Sumber Belajar
Sumber belajar pada hakekatnya adalah semua sumber yang terdiri dari pesan, manusia, material (media  software), peralatan  (hardware), teknik (metode) dan lingkungan yang digunakan secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama (kombinasi) untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar (AECT, 1977).
Sumber belajar pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual (Fred Percival & Ellington, 1988). Menurutnya agar sesuatu dapat berfungsi sebagai sumber belajar syaratnya adalah: (1) Dapat tersedia secara cepat; (2) Memungkinkan siswa untuk memacu dm; (3) Bersifat individual, dapat memenuhi berbagai kebutuhan para siswa dalam belajar mandiri.
Menurut Cony Semiawan (1986:24) ada empat jenis sumber belajar yang sangat bermanfaat, antara lain : 1) Masyarakat desa atau kota di sekeliling sekolah; 2) Lingkungan fisik di sekitar sekolah; 3) Bahan sisa dan barang bekas yang tidak dapat dipakai yang terbuang, mungkin dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, namun bila kita dapat memanfaatkannya dengan cara mendaur ulang dapat menjadi sumber belajar dan alat bantu belajar mengajar; 4) Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi di masyarakat, yang menarik perhatian siswa karena peristiwa itu tidak akan terulang lagi, dan peristiwa tersebut tidak akan ada pada catatan dalam buku atau alam pikir siswa. Jadi, dengan demikian taman pintar juga merupakan sumber belajar yang berupa lingkungan di sekitar sekolah.
  Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian secara seksama dalam merencanakan sumber belajar yaitu: maksud dan tujuan pengadaan sumber belajar, tingkat perkembangan siswa, konsep dan keterampilan yang akan dikembangkan serta kegiatan dan metode belajar yang akaan diterapkan. Dengan memperhatikan beberapa aspek tersebut maka pemanfaatan sumber belajar akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari kegiatan instruksional.
Agar diperoleh manfaat yang maksimal dari sumber belajar perlu memperhatikan ciri-ciri pokok dari sumber belajar, yaitu: (1) Sumber belajar mempunyai daya atau kekuatan yang dapat memberikan sesuatu yang diperlukan dalam mencapai tujuan pembelajaran; (2) Sumber belajar dapat merubah tingkah laku yang lebih sempuma, sesuai dengan tujuan; (3) Sumber belajar dapat digunakan secara sendiri-sendiri (terpisah) mapun secara kombinasi (gabungan); (4) Sumber belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang dirancang  {by design} untuk keperluan belajar dan sumber belajar yang tinggal memakai  (by utilization) awalnya tidak dimaksudkan untuk kepentingan belajar, kemudian dimanfaatkan bagi kegiatan belajar. Karti Soeharto dkk

C.  Lingkungan sebagai Sumber Belajar
Taman pintar merupakan lingkungan yang dibuat sebagai sumber dan  sarana belajar. Jadi, menggunakan taman pintar sebagai sumber belajar berarti memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar. Kelebihan dalam pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar yaitu: 1) Membuat siswa mendapatkan informasi berdasarkan pengalaman langsung; 2) Lebih komunikatif; 3) Membuat pelajaran lebih konkrit; 4)  Membuat siswa mengenal dan mencintai lingkungan; 5) Penerapan ilmu menjadi lebih mudah sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya (Sardiman, 2005).
Lingkungan dalam pembelajaran dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang ada di sekolah atau tempat tinggal siswa yang temasuk di dalamnya mahluk hidup maupun benda mati yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar”.
Ada empat sumber belajar yang berkenaan langsung dengan lingkungan sebagai berikut:
1.     Masyarakat kota atau desa sekeliling sekolah;
2.     Lingkungan fisik di sekitar sekolah;
3.     Bahan sisa yang tidak terpakai dan barang bekas yang terbuang yang dapat menimbulkan pemahaman lingkungan;
4.     Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi dimanfaatkan cukup menarik perhatian siswa.13
Dalam proses pembelajaran, lingkungan sebagai dasar pengajaran adalah faktor tradisonal yang memengaruhi tingkah laku individu dan merupakan faktor belajar yang penting. Lingkungan belajar/pembelajaran atau pendidikan terdiri atas:
1. Lingkungan sosial yaitu lingkungan masyarakat baik kelompok besar maupun kelompok kecil;
2. Lingkungan personal meliputi individu-individu sebagai suatu pribadi berpengaruh terhadap individu pribadi lainnya;
3. Lingkungan alam (fisik) meliputi sumber daya alam yang dapat diberdayakan sebagai sumber belajar;
4. Lingkungan kultural mencakup hasil budaya dan teknologi yang dijadikan sumber belajar dan dapat menjadi faktor pendukung pengajaran. Dalam konteks ini termasuk sistem nilai, norma, dan adat kebiasaan (Sandhi, 2011)
Memanfaatkan lingkungan sebagai media pembelajaran memiliki banyak keuntungan. Beberapa keuntungan tersebut yaitu:
1. Menghemat biaya, karena memanfaatkan benda-benda yang telah ada di lingkungan.
2. Praktis dan mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus seperti listrik.
3. Memberikan pengalaman yang riil kepada siswa, pelajaran menjadi lebih konkrit, tidak verbalistik.
4. Karena benda-benda tersebut berasal dari lingkungan siswa, maka benda-benda tersebut akan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan siswa. Hal ini juga sesuai dengan konsep pembelajaran kontekstual (contextual learning).
5. Pelajaran lebih aplikatif, maksudnya materi pelajaran yang diperoleh siswa melalui media lingkungan kemungkinan besar akan dapat diaplikasikan langsung, karena siswa akan sering menemui benda-benda atau peristiwa serupa dalam kehidupannya sehari-hari.
6. Media lingkungan memberikan pengalaman langsung kepada siswa. Dengan penggunaan lingkungan, siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan benda, lokasi atau peristiwa sesungguhnya secara alamiah.
7. Lebih komunikatif, sebab benda dan peristiwa yang ada di lingkungan siswa biasanya mudah dicerna oleh siswa, dibandingkan dengan media yang dikemas.
            Menurut Nana Sudjana (2001) ada tiga macam lingkungan yang
dapat digunakan dalam proses pendidikan dan pengajaran yaitu lingkungan sosial, lingkungan alam dan lingkungan buatan. Lingkungan sosial sebagai sumber belajar berkaitan dengan interaksi manusia dengan kehidupan bersayrakat.  Lingkungan alam berkenaan dengan segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti keadaan geografi, iklim maupun sumber daya alam. Lingkungan buatan  yaitu lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia
Sehubungan dengan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar ini, Nasution (1985) menyatakan bahwa pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : dengan cara membawa sumber-sumber dari masyarakat ke atau lingkungan ke dalam kelas dan dengan cara membawa siswa ke lingkungan. Tentunya masing-masing cara tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan, metoda, teknik dan bahan tertentu yang sesuai dengan tujuan pengajaran.
            Lingkungan yang ada di sekitar merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas, antara lain :
1.    Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari siswa Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan siswa karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab siswa dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.
2.    Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab siswa dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan siswa.
3.      Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada siswa, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
4.      Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi siswa  Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi siswa sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.
5.      Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar siswa (learning activities) yang lebih meningkat.  Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan.

Memanfaatkan lingkungan sekitar dengan membawa siswa-siswa untuk mengamati lingkungan akan menambah keseimbangan dalam kegiatan belajar. Artinya belajr tidak hanya  terjadi di ruangan kelas namun juga di luar ruangan kelas dalam hal ini lingkungan sebagai sumber belajar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan sosial, dan budaya, perkembangan emosional serta intelektual.
1. Perkembangan aspek keterampilan sosial; Lingkungan secara alami mendorong siswa untuk berinteraksi dengan siswa-siswa yang lain bahkan dengan orang-orang dewasa. Pada saat siswa mengamati objek-objek tertentu yang ada di lingkungan pasti dia ingin mencritakan hasil penemuannya dengan yang lain. Supaya penemuannya diketahui oleh teman-temnannya siswa tersebut mencoba mendekati siswa yang lain sehinga terjadilah proses interaksi/hubungan yang harmonis. Siswa-siswa dapat membangun kterampilan sosialnya ketika mereka membuat perjanjian dengan teman-temannya untuk bergantian dalam menggunakan alat-alat tertentu pada saat mereka memainkan objek-objek yang ada di lingkungan tertentu. Melalui kegiatan sepeti ini siswa berteman dan saling menikmati suasana yang santai dan menyenangkan.
2. Perkembangan aspek emosi; Lingkungan pada umumnya memberikan tantangan untuk dilalui oleh siswa-siswa. Pemanfaatannya akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan rasa percaya diri yang positif. Misalnya bila siswa diajak ke sebuah taman yang terdapat beberapa pohon yang memungkinkan untuk mereka panjat. Dengan memanjat pohon tersebut siswa mengembangkan aspek keberaniannya sebagai bagian dari pengembangan aspek emosinya. Rasa percaya diri yang dimiliki oleh siswa terhadap dirinya sendiri dan orang lain dikembangkan melalui pengalaman hidup yang nyata. Lingkungan sendiri menyediakan fasilitas bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman hidup yang nyata.
3. Perkembangan intelektual; Siswa-siswa belajar melalui interaksi langsung dengan benda-benda atau ide-ide. Lingkungan menawarkan kepada guru kesempatan untuk menguatkan kembali konsep-konsep seperti warna, angka, bentuk dan ukuran.  Memanfaatkan lingkungan pada dasarnya adalah menjelaskan konsep-konsep tertentu secara alami.



DAFTAR PUSTAKA

Sardiman, 2005. Media Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sandhi S A., 2011. Pemanfaatan Laboratorium Lingkungan sebagai Media Pembelajaran IPAyang Bernilai Edukatif dan Ekonomis. http://iyoyee.wordpress.com/2007/11/08/artikel-non-penelitian-1.
Sudjana, N. A. Rivai.1991.Media Pengajaran (Penggunaan dan Pembuatannya).Bandung:Sinar Baru Bandung
Triadinda, O. A. 2013. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Taman Pintar di Kota Solo Berdasarkan Pendekatan Arsitektur Metafora. Disertasi UAJY, tidak diterbitkan