Muhlisin
Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Banten
Kawasan
Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, Jl. Raya Palima – Pakupatan, Curug
Serang-Banten
Email:
muhlisinsidik@gmail.com
A. PENDAHULUAN
Bencana longsor merupakan salah satu bencana geologis
yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah maupun non alamiah, merupakan
salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa
dan
menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang
bisa berdampak negatif pada kondisi ekonomi dan sosial. Bencana alam tanah
longsor
dapat terjadi karena
pola pemanfaatan
lahan
yang tidak mengikuti kaidah
kelestarian lingkungan, seperti gundulnya hutan
akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian
dan pemukiman di lahan
berkemiringan
lereng yang terjal.
Tanah longsor adalah perpindahan material
pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran
tersebut, bergerak kebawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor
diawali oleh air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika
air tersebut menembus sampai ke tanah kedap air yang berperan sebagai bidang
gelincir, maka tanah menjadi licin dan tanah pelapukan diatasnya akan bergerak
mengikuti lereng dan keluar lereng.
Pengetahuan tentang
gerakan tanah adalah penting sebagai upaya untuk mengantisipasi bahaya longsor,
dan upaya mitigasinya. Sehingga masyarakat d sekitar wilayah longsor dapat
terselamatkan dan kerugian harta benda dapat diminimalisir.
B. MEKANISME LONGSOR /GERAKAN TANAH
Gerakan tanah adalah suatu
konsekuensi fenomena dinamis alam untuk mencapai kondisi baru akibat gangguan
keseimbangan lereng yang terjadi, baik secara alamiah maupun akibat ulah
manusia. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada keadaan ketidakseimbangan
yang menyebabkan terjadinya suatu proses mekanis, mengakibatkan sebagian dari
lereng tersebut bergerak mengikuti gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah
terjadi longsor lereng akan seimbang atau stabil kembali. Jadi
longsor merupakan pergerakan massa tanah atau batuan menuruni lereng mengikuti
gaya gravitasi akibat terganggunya kestabilan lereng. Apabila massa yang
bergerak pada lereng ini didominasi oleh tanah dan gerakannya melalui suatu
bidang pada lereng, baik berupa bidang miring maupun lengkung, maka proses
pergerakan tersebut disebut sebagai
longsoran tanah. Saripin
(2002) mendefinisikan tanah longsor adalah merupakan suatu bentuk erosi dimana pengangkutan atau
gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Ditinjau
dari segi gerakannya, maka selain erosi longsor masih ada beberapa erosi yang
diakibatkan oleh gerakan massa tanah, yaitu rayapan (creep), runtuhan batuan
(rock fall) dan aliran lumpur (mud flow). Karena massa yang bergerak dalam
longsor merupakan massa yang besar maka seringkali kejadian tanah longsor akan
membawa korban, berupa kerusakan lingkungan, lahan pertanian, permukiman dan
infrastruktur serta harta bahkan hilangnya nyawa manusia.
C. JENIS-JENIS TANAH LONGSOR
Menurut
Subowo (2003), ada 6 (enam) jenis tanah longsor, yaitu: longsoran translasi,
longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Di indonesia jenis
longsor yang paling sering terjadi adalah longsor translasi dan longsor rotasi.
Sementara itu, jenis tanah longsor yang paling banyak memakan korban jiwa
adalah aliran bahan rombakan.
1. Longsor
Translasi; Longsor
ini terjadi karena bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk rata atau menggelombang landai.
2. Longsor
Rotasi; Longsoran
ini muncul akibat bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir
berbentuk cekung.
3. Pergerakan Blok; Pergerakan blok terjadi karena perpindahan
batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsor jenis ini
disebut juga longsor translasi blok batu
4. Runtuhan
Batu; Runtuhan
batu terjadi saat sejumlah besar batuan atau material lain bergerak kebawah
dengan cara jatuh bebas. Biasanya, longsor ini terjadi pada lereng yang terjal
sampai menggantung, terutama di daerah pantai. Runtuhan batu-batu besar dapat
menyebabkan kerusakan parah.
5. Rayapan
Tanah; Longsor
ini bergerak lambat serta serta jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus.
Longsor ini hampir tidak dapat dikenal. Setelah beberapa lama terjadi longsor
jenis rayapan, posisi tiang-tiang telepon, pohon-pohon, dan rumah akan miring
kebawah.
6. Aliran
Bahan Rombakan; Longsor
ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air dan terjadi di
sepanjang lembah yang mencapai ratusan meter jauhnya. Kecepatan bergantung pada
kemiringan lereng, volume air, tekanan air dan jenis materialnya.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN LONGSOR
Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada lereng lebih
besar dari gaya penahan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya
pendorong dipengaruhi oleh besarnya sudut kemiringan lereng, air, beban serta
berat jenis tanah batuan.
Faktor penyebab terjadinya
gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun
lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan
pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor
alam dan faktor manusia:
Faktor alam dipengaruhi
oleh: a) Kondisi geologi : batuan
lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, strukutur sesar dan
kekar, gempa bumi, stragrafi dan gunung berapi; b) Iklim : curah hujan yang tinggi; c) Keadaan
topografi : lereng yang curam;
d) Keadaan air : kondisi
drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan
tekanan hidrostatika; e) Tutup lahan yang mengurangi tahan geser, misalnya
tanah kritis; dan f) Getaran yang diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran
mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan.
Faktor manusia dipengaruhi
oleh: a) Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal; b) Penimbunan
tanah urugan di daerah lereng; Kegagalan struktur dinding penahan tanah; c) Penggundulan
hutan; d) Budidaya kolam ikan diatas lereng; e) Sistem pertanian yang tidak
memperhatikan irigasi yang aman; f) Pengembangan wilayah yang tidak di imbangi
dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya
merugikan sendiri; dan f) Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik.
Secara umum Karnawati (2003) mengungkapkan
faktor pengontrol terjadinya longsor
pada suatu lereng dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal terdiri dari kondisi geologi batuan dan tanah penyusun lereng,
kemiringan lereng (geomorfologi lereng), hidrologi dan struktur geologi,
sedangkan faktor eksternal yang disebut juga sebagai faktor pemicu yaitu curah
hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng serta getaran
gempa. Zona kerentanan gerakan tanah
dapat dianalisis berdasarkan penghitungan variabel lingkungan fisik suatu
daerah yang mempengaruhi terjadinya gerakan tanah. Variabel yang dapat
digunakan sebagai dasar analisis dari penentuan
zona kerentanan terhadap gerakan tanah adalah variable kemiringan lereng
(topografi), tekstur tanah, kondisi fisik batuan, curah hujan (iklim) dan
penggunaan lahan. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyebutkan bahwa
daerah yang memiliki kerawanan terhadap bencana tanah longsor dikategorikan
dalam kawasan fungsi lindung. Sedangkan batasan kawasan lindung diatur lebih
lanjut dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
837/KPTS/UM/11/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Kawasan Lindung
dan Kawasan Budidaya.
E. IDENTIFIKASI
POTENSI LONGSOR
Prosedur yang harus dilakukan untuk
identifikasi kerawanan tanah longsor adalah sebagai berikut:
a. Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000,
deliniasi kelas kelerengan lahan dilakukan seperti klasifikasi lereng pada
Lampiran 2. Klasifikasi lereng ini sama seperti pada klasifikasi lereng daerah
potensi (pasokan) air banjir hanya kelas lereng >45% dibagi lagi menjadi
kelas 45-65% dan >65%, sedangkan kelas 0-8% digabung menjadi satu dengan
kelas 8-15% . Pembagian kelas lereng dapat digunakan sebagai unit peta.
b.
Padukan peta Geologi (contoh Gambar 5), pada peta kelas lereng untuk memperoleh
data jenis batuan (geologi) dan keberadaan garis sesar/patahan/ gawir.
c. Dengan peta jenis tanah dapat diperkirakan
kedalaman tanah (regolit) sampai lapisan kedap air.
d. Dengan menggunakan peta RBI skala 1 : 25.000
diidentifikasi jenis penutupan lahan dan
keberadaan infrastruktur. Untuk memperoleh data penutupan lahan terkini
perlu dikoreksi dengan hasil analisis citra satelit (penginderaan jauh),
terutama dengan resolusi yang cukup tinggi seperti SPOT.4 dan atau 5, atau
IKONOS atau Quick Bird.
e. Dipadukan peta penutupan lahan dengan peta
penggunaan lahan (land use) agar diperoleh kejelasan pemangku lahan terkait,
dan ancaman tanah longsor terhadap pemukiman.
f. Apabila data demografi desa tersedia maka
kepadatan pemukiman pada unit peta tersebut dapat dihitung yakni nilai
nisbah/rasio jumlah penduduk dibagi luas pemukiman pada wilayah desa yang
bersangkutan.
g. Analisis data hujan harian dari catatan data
curah hujan harian sepuluh tahun terakhir untuk memperoleh data curah hujan
tiga hari berurutan terbesar.
F. TEKNIK PENGENDALIAN TANAH LONGSOR
Berdasarkan pengalaman lapangan, proses tanah
longsor bisa dipilah dalam Tiga tingkatan yakni: (1) massa tanah sebagian
terbesar telah meluncur ke bawah (longsor); (2)
massa tanah bergeser sehingga
menimbulkan rekahan/retak (rayapan), dan (3) massa tanah belum bergerak tetapi
memiliki potensi longsor tinggi (potensial longsor).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
daerah longsor maupun rawan longsor adalah sebagai berikut: 1) Slope reshaping lereng terjal (pembentukan
lereng lahan menjadi lebih landai) pada daerah yang potensial longsor; 2) Penguatan lereng terjal dengan bronjong kawat
pada kaki lereng; 3) Penutupan
rekahan/retakan tanah dengan segera karena pada musim penghujan rekahan bisa
diisi oleh air hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga menjenuhi tanah di atas
lapisan kedap; 4) Bangunan rumah dari konstruksi kayu (semi
permanen) lebih tahan terhadap retakan tanah dibanding dengan bangunan pasangan
batu/bata pada lahan yang masih akan bergerak.
Teknik pengendalian tanah longsor metode
vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas
lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman
(vegetatif ) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah
longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai
batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya
ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian
kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½
standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan
tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase
baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan
perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang
masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah
yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya.
Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik
sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng,
bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran
pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran
air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara
horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa
perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan
kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 2.
Pendekatan pengendalian tanah longsor berbeda
dengan pengendalian erosi permukaan, bahkan bertolak belakang. Pada
pengendalian tanah longsor diupayakan agar air tidak terlalu banyak masuk ke
dalam tanah yang bisa menjenuhi ruang antara lapisan kedap air dan lapisan
tanah, sedangkan pada pengendalian erosi permukaan air hujan diupayakan masuk
ke dalam tanah sebanyak mungkin sehingga energi pengikisan dan pengangkutan
partikel tanah oleh limpasan permukaan dapat diminimalkan. Dengan demikian tindakan mitigasi tanah longsor
harus lebih hati-hati apabila pada tempat yang sama juga mengalami degradasi
akibat erosi permukaan (rill and interrill erosion). Pengendalian erosi
permukaan mengupayakan agar air hujan dimasukkan ke dalam tanah sebanyak
mungkin, sebaliknya pengendalian tanah longsor dilakukan dengan memperkecil air
hujan yang masuk ke dalam tanah sehingga tidak menjenuhi lapisan tanah yang
berada di atas batuan kedap air.
G. PERINGATAN
DINI TANAH LONGSOR
Teknik peringatan dini dalam memitigasi tanah
longsor secara umum dapat diketahui sebagai berikut (disesuaikan dengan jenis
potensi tanah longsor yang ada):
a.
Adanya
retakan-retakan tanah pada lahan (pertanian, hutan, kebun, pemukiman) dan atau
jalan yang cenderung semakin besar, dengan mudah bisa dilihat secara visual.
b.
Adanya
penggelembungan/amblesan pada jalan aspal - terlihat secara visual.
c.
Pemasangan
penakar hujan di sekitar daerah rawan tanah longsor. Apabila curah hujan kumulatif secara berurutan selama
2 hari melebihi 200 mm sedangkan hari ke-3 masih nampak telihat akan terjadi
hujan maka masyarakat harus waspada.
d.
Adanya
rembesan air pada kaki lereng, tebing jalan, tebing halaman rumah (sebelumnya
belum pernah terjadi renbesan) atau aliran rembesannya (debit) lebih besar dari
sebelumnya.
e.
Adanya
pohon yang posisinya condong kearah
bawah bukit.
f.
Adanya
perubahan muka air sumur (pada musim kemarau air sumur kering, pada musim
penghujan air sumur penuh).
g.
Adanya
perubahan penutupan lahan (dari hutan ke non-hutan) pada lahan berlereng curam
dan kedalaman lapisan tanah sedang.
h.
Adanya
pemotongan tebing untuk jalan dan atau perumahan pada lahan berlereng curam dan
lapisan tanah dalam.
H. MITIGASI BENCANA LONGSOR LAHAN
Mitigasi bencana longsor lahan adalah suatu
usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh
keduanya yang mengakibatkan jatuhnya korban, penderitaan manusia, kerugian
harta benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta
menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Mitigasi longsor pada prinsipnya bertujuan
untuk meminimumkan dampak bencana tersebut. Untuk itu kegiatan early warning
(peringatan dini) bencana menjadi sangat
penting. Peringatan dini dapat dilakukan antara lain melalui prediksi
cuaca/iklim sebagai salah satu faktor yang menentukan bencana longsor. Mitigasi bencana meliputi sebelum, saat
terjadi dan sesudah terjadi bencana.
1. Sebelum bencana antara lain peringatan dini
(early warning system) secara optimal dan terus menerus pada masyarakat.
a) Mendatangi daerah rawan longsor lahan
berdasarkan peta kerentanannya.
b) Memberi tanda khusus pada daerah rawan
longsor lahan.
c) Manfaatkan peta-peta kajian tanah longsor
secepatnya.
d) Permukiman sebaiknya menjauhi tebing.
e) Tidak melakukan pemotongan lereng.
f) Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat
ini dalam kedaan gundul, menanam
pohon-pohon penyangga, melakukan
panghijauan pada lahan-lahan terbuka.
g) Membuat terasering atau sengkedan pada lahan
yang memiliki kemiringan yang relatif curam.
h) Membatasi lahan untuk pertanian
i) Membuat saluran pembuangan air menurut kontur
tanah
j) Menggunakan teknik penanaman dengan sistem
kontur tanah
k) Waspada gejala tanah longsor (retakan,
penurunan tanah) terutama di musim hujan.
2. Saat bencana antara lain bagaimana
menyelamatkan diri dan kearah mana. ini harus diketahui oleh masyarakat.
3.
Sesudah bencana antara lain pemulihan
(recovery) dan masyarakat harus dilibatkan.
a) Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang
lebih aman
b) Penyelamatan harta benda yang mungkin masih
dapat di selamatkan,
c) Menyiapkan tempat-tempat penampungan sementara bagian para pengungsi seperti
tenda-tenda darurat
d) Menyediakan dapur-dapur umum
e) Menyediakan air bersih, sarana kesehatan
f) Memberikan dorongan semangat bagi para korban
bencana agar para korban tersebut tidak frustasi dan Iain-lain.
g) Koordinasi dengan aparat secepatnya
Adapun
tahapan mitigasi bencana tanah longsor, yaitu pemetaan, penyelidikan,
pemeriksaan, pemantauan, sosialisasi.
1.
Pemetaan; Menyajikan informasi visual tentang tingkat
kerawanan bencana alam geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada
masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar
untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.
2.
Penyelidikan; Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu
bencana sehingga dapat digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan
rencana pengembangan wilayah.
3.
Pemeriksaan; Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah
terjadi bencana, sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
4.
Pemantauan; Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana,
pada daerah strategis secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini
tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
tersebut.
5.
Sosialisasi; Memberikan
pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau
masyarakat umum, tentang bencana alam
tanah longsor. Sosialisasi dilakukan
dengan berbagai cara antara lain, berita, poster, booklet, dan leaflet atau
dapat juga secara langsung kepada aparat pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, L. 2007. Kajian Mitigasi Bencana Longsor
Lahan dengan Menggunakan Teknologi
Penginderaan Jauh. Padang: Sseminar Ikatan Geografi Indonesia.
Paimin, Sukresno dan
Pramono, I.B.2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Balikpapan.
Tropenbos International Indonesia Programme.
Nandi. 2007. Longsor.
Bandung. Jurusan Pendidikan Geografi, Universitas Pendidikan Indonesia.
Nugroho, U.C., Fahrudin dan Suwarsono. 2014. Pemetaan
Indeks Resiko Gerakan Tanah Menggunakan Citra DEM SRTM dan Data Geologi Di
Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara. Seminar Nasional Penginderaan
Jauh.