Senin, 17 Juni 2013

MEMBENTUK PRIBADI SISWA YANG IMUN

A 
khir-akhir ini pemberitaan tentang carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara seringkali kita tonton, kita dengar bahkan juga mungkin mengalami langsung terjadi di sekitar kita. Tiap hari, tiap jam, bahkan tiap detik berita-berita yang tidak mengenakan selalu tersebar melalui media massa. Mulai dari pejabat yang korupsi, ketegangan elit politik, pertikaian antar instansi negera, kekerasan dan berita-berita lain yang tidak mengenakan. Bahkan berita yang terakhir tentang diundurnya Ujian Nasional merupakan berita yang langsung menyentuh perasaan anak didik, dan subjek yang langsung merasakan ketidakberesan penyelenggaraan Negara.
Berita yang datang tiap detik ini, tidak bisa kita bendung, sebagai akibat kebebasan media yang tidak terkendali. Mungkin siswa tidak membaca Koran, tapi mereka menonton TV. Mungkin diantara mereka tidak menonton TV, tapai browsing di internet yang daya jangkaunya mendunia dan bisa diakses baik oleh PC maupun smartphone. Bersembunyai dimanapun berita dapat diakses. Itulah media, ibarat pisau yang memiliki dua sisi, negatif dan sisi positif.
Keadaan  yang tidak kondusif ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kepribadian siswa. Di sekolah guru dituntut untuk digugu dan ditiru dan memberi pendidikan yang baik, tetapi terkadang kondisi kenyataan di lapangan bertolak belakang. Contoh yang biasa kita alami sehari-hari misalnya bagaiman sikap kita ketika berlalu lintas. Mulai dari TK atau SD tentu kita semua diajarkan, ketika lampu merah artinya berhenti, lampu hijau jalan, dan lampu kuning hati-hati. Tapi kondisi nyata sering berlawanant, ketika lampu lalu lintas masih menyala merah, kendaraan justru melaju dengan kencangnya, bahkan memaksa kita yang ada di depannya untuk melanggar aturan itu. Bagi pribadi yang tidak memiliki sikap, tentu akan terbawa dengan kondisi yang tidak baik seperti ini.
Siswa sekolah menengah merupakan anak remaja  yang secara psikologi pada kondisi pribadi pada masa transisi. Masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Secara fisik, anak remaja sedang tumbuh, kuat, sehingga merasa seperti dewasa. Tetapi secara kejiwaan mereka belum matang. Sehingga membuat keputusan terkadang hanya mengikuti emosi, kurang mempertmbangkan rasio. Kondisi seperti inilah yang bila anak-anak sekolah tidak memiliki daya tahan (imun) akan terbawa pada kondisi yang tidak baik.
            Pertanyaannya, apa yang dapat guru lakukan untuk membentuk pribadi siswa yang imun terhadap kondisi lingkungan yang tidak baik?. Untuk menjawab ini ada baiknya kita belajar dari sistem kekebalan tubuh kita. Tubuh kita memiliki sistem kekebalan nonspesifik dan spesifik. Sistem kekebalan non spesifik adalah imunitas bawaan yg memberi reaksi terhadap semua jenis antigen/ patogen yg masuk walaupun tubuh belum pernah mengenal antigen tersebut. Sedangkan Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon imun yang spesifik, disebut juga dengan sistem imun yang didapat (adaptive immunity) terhadap substansi tersebut.
Sistem imun nonspesifik dilakukan baik secara fisik, kimia, maupun seluler. Secara fisik tubuh kita dilengkapi kulit dan membrane mukosa yang mencegah gesekan fisik. Secara kimia tubuh kita memiliki lizozim yang bisa membunuh bibit penyakit, dan secara seluler memiliki sel darah putih (leukosit). Analoginya, bisa jadi siswa belum memahami apakah informasi dari media atau mesyarakat itu baik atau tidak baik, maka sebagai langkah preventifnya adalah membatasi penggunaan media-media yang merusak. Membatasi atau melarang penggunaan telepon genggam di sekolah, menyarankan pembatasan menonton TV, dan melarang bergaul dengan masyarakat yang tidak baik. Kalau hal tersebut sulit dilakukan, tugas guru terus mengingatkan mana perilaku yang baik mana yang tidak baik. Hal ini diakukan tidak hanya oleh guru agama atau PKn, tapi oleh seluruh guru mata pelajaran.
Salah satu respon imunitas nonspesifik adalah terjadinya radang atau inflamasi suatu reaksi tubuh yang bertujuan untuk untuk mengisolasi dan menghancurkan benda asing dan mempersiapkan jaringan dlm proses penyembuhan. Ciri klasik terjadinya radang adalah: tumor (bengkak), robor (merah), color (hangat), dan dolor (sakit). Tubuh yang mengalami inflamasi akan tampak merah dan hangat karena terjadinya vasodilatasi (pelebaran) pembuluh darah, sehingga aliran darah meningkat. Akibatnya permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga cairan plasma dan protein keluar sehingga menyebabkan edema (bengkak) yang menekan saraf menyebabkan sakit. Reaksi ini sebenarnya adalah upaya tubuh untuk menyerang bibit penyakit. Analoginya adalah, ketika anak dindikasikan sudah terserang oleh suatu prilaku yang tidak baik, maka peran sekolah adalah bagaiamana terus memberikan daya tangkal dari berbagai sisi. Seperti vasodiltasi pembuluh darah, maka setiap guru terus memberikan bantuan kepada siswa tersebut., mulai dari guru BK, guru agama, PKn, dan guru lainnya. Pendidikan karakter dan pendidikan nilai oleh semua guru mata pelajaran adalah upaya preventif dan kuratif dalam menangkal virus-virus perilaku yang tidak baik.
Ada pengalaman yang menarik, ketika salah seorang siswa saya melalui facebook megucapkan terimakasih karena sudah diasihati bukan sudah pintar ilmu biologi. Dia selalu teringat ketika guru biologinya diawal memberikan pelajaranya selalui dimulai menayangkan video tentang pendidikan karakter walaupun hanya 5 menit. Di samping itu ketika menjelaskan materi pelajarnnya bagaimana menjelaskan nilai-nilai moral dari materi yang telah disampaikannya.
Pembentukan pribadi yang imun ini juga bisa dilakukan oleh semua guru mta pelajaran. Kuncinya bukan hanya memberi nasihat yang terkadang diri sendiri tidak melakukan, tetapi keteladan. Keteladanan adalah lebih efektif dibandingkan seribu kata-kata. Semoga pengalaman ini menjadi guru yang terbaik buat para pendidik menjadikan siswa ang memiliki pribadi yang imun·


Tidak ada komentar:

Posting Komentar